Ia menyebut ada inisial baru di mana sosok tersebut memiliki jabatan penting sebagai abdi negara. Awalnya, Iskandar menjelaskan peranan Helena Lim dan Harvey Moeis dalam kasus mega korupsi Rp271 triliun itu.
"Kami sebut Helena Lim itu hanya keset kaki. Di atas keset kaki itu sepatunya Harvey Moeis. Kemudian, Robert Bonosusatya alias RBS bertindak sebagai ‘kaos kaki’ yang berada di atas Harvey Moeis, suami Sandra Dewi. Nah yang jadi kaos kaki itu udah pasti RBS,” ujar Iskandar saat diundang dalam tayangan podcast bersama Uya Kuya.
Lebih jauh, Iskandar menyebut bahwa ada mantan pensiunan bintang empat berinisial B yang menjadi backingan dalam kasus ini.
“Ada oknum yang berkuasa, yang sampai punya bintang 4 di pundak, mantan pensiunan, gitu intinya. Berseragam karena dalam warna-warni kejahatan mereka tak akan berhitung kalau tidak pada aparat,” bebernya.“Habis itu ya biasanya mereka bergantung pada kelompok kuat yang solid atau terorganisir. Kita sebut saja oknum itu pernah berbintang empat inisial B itu aja dulu,” lanjutnya.Iskandar menyebut bahwa sosok inisial B tersebut sudah lama dicurigai mengorganisir proyek tambang timah ilegal sejak lama.
Ini orang yang kita duga mengorganisir sampai terjadi pembelian smelter, smelter ini kan dibeli dari orang-orang yang bener-bener kaya, tetapi pembelinya tidak benar-benar kaya, kan unik kasus ini,” pungkasnya.
Adapun saat ini kasus mega korupsi masih dalam tahap penyidikan.
Sandra Dewi kembali diperiksa oleh Kejagung sementara sang suami Harvey Moeis masih harus ditahan untuk mengulik dan membongkar tuntas kasus korupsi timah ini.
Korupsi, sebagai sebuah isu yang telah mengakar dalam struktur pemerintahan di banyak negara, kembali menempati pusat perhatian ketika melibatkan sumber daya alam yang krusial bagi keberlangsungan lingkungan. Baru-baru ini Indonesia telah digemparkan dengan kasus korupsi tambang timah, yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga berdampak besar pada lingkungan hidup.
Mencapai kerugian sebesar Rp 271 triliun akibat korupsi di sektor tambang timah, merupakan sebuah angka yang mencengangkan. Namun, lebih dari sekadar angka, yang patut menjadi sorotan adalah dampak nyata yang dirasakan oleh lingkungan hidup dan masyarakat sekitarnya. Korupsi tambang timah tidak hanya mencuri sumber daya alam yang seharusnya menjadi kekayaan bersama, tetapi juga mencuri kesehatan dan kehidupan yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara.
Korupsi tambang timah, khususnya dalam kasus pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk (TINS) periode 2015-2022, telah menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi lingkungan hidup. Menurut ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo, kerugian kerusakan hutan di Bangka Belitung (Babel) mencapai Rp271 triliun, termasuk kerugian dalam kawasan hutan dan nonkawasan hutan.
Dalam pernyataannya, Bambang menjelaskan perhitungan kerugian lingkungan akibat korupsi ini secara rinci. “Di kawasan hutan sendiri, kerugian lingkungan ekologisnya mencapai Rp157,83 triliun, ekonomi lingkungannya Rp60,276 triliun, dan biaya pemulihannya sekitar Rp5,257 triliun. Total kerugian untuk kawasan hutan ini mencapai Rp223.366.246.027.050,” ujarnya saat konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, pada Senin (19/2/2024).
Pernyataan tersebut menjadi bukti nyata betapa besar dampak korupsi tambang timah terhadap keberlanjutan lingkungan. Menurut mereka, teori yang digunakan untuk mengkaji dampak lingkungan dari kasus ini sejalan dengan konsep Kerugian Lingkungan, yang menyatakan bahwa kerugian lingkungan mencakup aspek ekologis dan ekonomis yang timbul akibat kerusakan sumber daya alam.
Dalam konteks ini, kerugian lingkungan ekologis mengacu pada hilangnya fungsi-fungsi ekosistem yang mengatur siklus air, udara, dan nutrien. Sedangkan kerugian ekonomi lingkungan mencakup nilai-nilai ekonomis dari layanan ekosistem yang hilang, seperti penyerapan karbon, penyediaan air bersih, dan keanekaragaman hayati.
Ketika kita melihat kerugian sebesar Rp271 triliun akibat korupsi dalam tambang timah, kita sebenarnya sedang melihat bagaimana sumber daya alam yang seharusnya menjadi aset bersama bagi keberlangsungan hidup, telah dirampas oleh tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab. Untuk itu, penting bagi pemerintah dan pihak terkait agar tidak hanya fokus pada aspek ekonomi semata dalam menangani kasus korupsi tambang timah. Perlunya pertimbangan mendalam terhadap dampak jangka panjang terhadap lingkungan, kesehatan masyarakat, dan keberlanjutan sumber daya alam menjadi hal yang esensial.
Menyadari dampak yang sangat merugikan dari kasus korupsi tambang timah, perlu disadari bahwa tanggung jawab untuk menjaga keberlanjutan lingkungan hidup tidak hanya terletak pada pemerintah atau pihak terkait semata. Masyarakat pun memiliki peran yang sangat penting dalam mengawasi dan mendukung upaya perlindungan lingkungan.
Dalam hal ini, kesadaran masyarakat untuk berperan aktif dalam mengawasi kegiatan pertambangan dan menuntut transparansi dalam pengelolaan sumber daya alam sangatlah vital. Pendidikan dan penyuluhan mengenai pentingnya pelestarian lingkungan juga perlu ditingkatkan, sehingga masyarakat lebih peka terhadap ancaman dan kerusakan lingkungan yang mungkin timbul akibat praktik-praktik eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.
Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan sektor swasta juga menjadi kunci dalam mengatasi masalah korupsi dan perlindungan lingkungan. Pembentukan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan lingkungan, pengawasan yang ketat terhadap praktik-praktik tambang yang berpotensi merusak lingkungan, serta insentif bagi perusahaan yang berkomitmen pada praktik pertambangan yang bertanggung jawab, adalah langkah-langkah yang perlu diambil secara bersama-sama.
Dengan demikian, kasus korupsi dalam pengelolaan tambang timah tidak sekadar menjadi isu hukum atau ekonomi, tetapi juga menjadi isu lingkungan yang memerlukan solusi holistik dan kolaboratif dari berbagai pihak terkait. Menyadari pentingnya teori Kerugian Lingkungan dalam mengukur dampak kerusakan, diharapkan tindakan-tindakan yang diambil selanjutnya dapat menjadi langkah konkret dalam menjaga keberlanjutan lingkungan hidup bagi generasi mendatang.
Penulis: Sheril Dribisce Azis, Mahasiswa S2 Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Indonesia dikejutkan dengan kasus korupsi Tata Niaga Komoditas Timah.
Tak tanggung-tanggung negara dirugikan hingga Rp 271 triliun.
Kasus korupsi ini melibatkan banyak kalangan dari penyelenggara negara, swasta, suami artis dan crazy rich PIK.
Total 16 orang jadi tersangka, termasuk suami artis Sandra Dewi Harvey Moeis.
Kasus ini pun tuai sorotan dari Uskup Keuskupan Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo
Pada konferensi pers Paskah 2024 di Gereja Katedral Jakarta, Minggu (31/3/2024), Kardinal Suharyo menyinggung soal keserakahan hingga kasus korupsi yang merugikan negara Rp 271 triliun.
Iskandar Sitorus Sekretaris Indonesian Audit Watch (IAW)
Iskandar lantas menegaskan ucapannya bahwa benar terdapat oknum Jenderal Bintang 4 yang terlibat dalam kasus korupsi timah Rp271 T.
“Iya (berseragam), karena dalam warna-warni kejahatan mereka tidak akan berhitung kalau tidak kepada aparat, habis itu biasanya mereka berhitung kepada kelompok-kelompok kuat atau solid terorganisir,” imbuhnya.
Terakhir, Iskandar mengungkap Jenderal B merupakan sosok yang memiliki nama besar alias terkenal.
“Ini orang yang kita duga mengorganisir sampai terjadi pembelian smelter, smelter ini kan dibeli dari orang-orang yang bener-bener kaya, tetapi pembelinya tidak benar-benar kaya, kan unik,” bebernya.
Peran Jenderal Bintang 4 yang Diduga Terlibat Korupsi Timah Rp 271 Triliun
Jumat, 19 April 2024 - 14:53 WIB
Jakarta – Sekretaris DPP Indonesia Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus mengatakan, seorang pensiunan Jenderal Bintang 4 diduga terlibat dalam kasus korupsi timah yang merugikan negara Rp271 triliun.
Hal tersebut diungkap Iskandar di YouTube Uya Kuya TV yang tayang pada Selasa, 16 April 2024 dengan judul ‘TERNYATA ADA SOSOK BINTANG 4 YG DIDUGA TERLIBAT KORUPSI TIMAH 271 T’.
“Ada oknum yang berkuasa, yang sampai punya bintang 4 di pundak, mantan pensiunan, inisial B, itu aja dulu,” ujar Iskandar dilihat Jumat, 19 April 2024.
Iskandar menyebut, Jenderal Bintang 4 berinisial B itu memiliki peran sebagai bekingan Harvey Moeis dalam kasus korupsi timah.
Bahkan, kata dia, Jenderal B ini punya kuasa lebih tinggi dibandingkan Harvey Moeis, Helena Lim, hingga Robert Bonosusatya (RBS). Jenderal B dicurigai telah mengorganisir proyek tambang timah ilegal tersebut.
“Ini orang yang kita duga mengorganisir sampai terjadi pembelian smelter, smelter ini kan dibeli dari orang-orang yang bener-bener kaya, tetapi pembelinya tidak benar-benar kaya, kan unik,” bebernya.
“Kami sebut Helena Lim itu hanya keset kaki, di atas keset kaki itu sepatunya Harvey Moeis. Kemudian, Robert Bonosusatya alias RBS bertindak sebagai ‘kaos kaki’,” kata dia.
Pernyataan Iskandar ini sontak membuat Uya Kuya terkejut. “Mantan pensiunan? Oknum yang berpangkat ini berseragam?” tanya Uya.
Uskup Agung Jakarta Soroti Keserakahan di Indonesia hingga Kasus Korupsi Rp 270 Triliun
Uskup Keuskupan Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo menyoroti keserakahan yang ada di Indonesia saat ini.
Dikatakannya bahwa saat ini Indonesia masih ada dalam 'perbudakan' diperbudak dalam keserakahan.
"Hari ini kita lihat tindak pidana perdagangan orang (TPPO), bahkan bukan menyangkut saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Tetapi orang-orang yang mempunyai pendidikan tinggi, mengerikan," ujar Kardinal Suharyo pada konferensi pers Paskah 2024 di Gereja Katedral Jakarta, Minggu (31/3/2024).
Uskup Agung lalu menyinggung soal pencucian uang saat ini ramai di media, angka mencapai Rp 270 triliun.
"Kemudian korupsi yang saat ini tengah ditangani dan tindak pidana pencucian uang yang jumlahnya mencapai lebih dari Rp 270 triliun. Dan masih banyak yang lain," lanjutnya.
Akhirnya, kata Uskup Agung hulu dan hilir semua peristiwa ini adalah keserakahan. Dan Keserakahan itu bisa menyusup masuk di dalam sistem.
"Jadi bukan hanya keserakahan pribadi. Kalau keserakahan masuk ke dalam sistem ekonomi, politik budaya, sosial. Itu daya rusaknya sangat besar," sambungnya.
Itulah, kata Uskup Agung 'perbudakan' yang ia cermati di media massa saat ini.'
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Empat terdakwa, Laksamana Muda (Purnawirawan) Agus Purwoto, Kusuma Arifin Wiguna, Surya Cipta Witoelar, dan Thomas Anthony van der Heyden dalam sidang tuntutan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur Kementerian Pertahanan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (7/7/2023).
JAKARTA, KOMPAS – Empat terdakwa dugaan korupsi proyek pengadaan Satelit Orbit 123 Derajat Bujur Timur di Kementerian Pertahanan Republik Indonesia pada 2015, masing-masing dituntut hukuman pidana penjara 18 tahun 6 bulan. Keempat terdakwa itu dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah.
Keempat terdakwa itu adalah Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto selaku Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kemenhan RI periode Desember 2013 hingga Agustus 2016, Kusuma Arifin Wiguna selaku Komisaris Utama PT Dini Nusa Kusuma, dan Surya Cipta Witoelar selaku Direktur Utama PT Dini Nusa Kusuma. Satu terdakwa lagi adalah berkewargaaan negara Amerika Serikat, yakni Thomas van der Heyden selaku Senior Advisor PT Dini Nusa Kusuma.
Keempat terdakwa hadir pada sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (7/7/2023). Persidangan dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri.
Tuntutan terhadap keempat terdakwa itu dibacakan secara bergantian oleh jaksa koneksitas yang terdiri dari unsur Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat dan Oditur dari pihak militer yakni Jasri Umar, Nurul Anwar, Dhikma Heradika, dan kawan-kawan. Ini lantaran terdakwa perkara ini ada yang berasal dari pihak militer.
Majelis hakim berbincang dengan jaksa penuntut umum sebelum sidang dimulai di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (2/3/2023).
Saat menyampaikan tuntutannya, jaksa koneksitas, Jasri Umar menyebut, Agus Purwoto bersama dengan Arifin Wiguna, Surya Cipta Witoelar, dan Thomas van der Heyden terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara mencapai Rp 453 miliar dari proyek pengadaan Satelit Orbit 123 Derajat Bujur Timur di Kementerian Pertahanan.
Baca juga: Warga Negara AS Didakwa Rugikan Indonesia Rp 453 Miliar
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Laksda TNI Purn Agus Purwoto berupa pidana penjara selama 18 tahun dan 6 bulan, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan," kata jaksa.
Selain penjara, Agus juga dituntut membayar denda sebesar Rp 1 miliar. Selain itu, jaksa koneksitas juga menuntut Agus untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 135 miliar yang apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara 9 tahun 3 bulan. "Jika tidak dibayar paling lama satu bulan sesudah putusan pengadilan inkrah maka harta bendanya disita dan dilelang oleh jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut," tutur jaksa.
Kemudian, jaksa menuntut ketiga terdakwa lainnya yakni, Arifin Wiguna, Surya Cipta Witoelar, dan Thomas van der Heyden, masing-masing dengan pidana penjara 18 tahun 6 bulan penjara. Masing-masing dari mereka juga dituntut membayar denda sebesar Rp 1 miliar. Apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan.
Jaksa penuntut umum mengikuti persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (2/3/2023). Majelis hakim menunda sidang pembacaan surat dakwaan terhadap Thomas Anthony Van Der Heyden terkait kasus dugaan korupsi pengadaan satelit slot orbit 123 Bujur Timur di Kementerian Pertahanan.
Tak miliki kewenangan
Dalam pertimbangannya, jaksa koneksitas mengungkapkan, Agus diminta oleh Van der Heyden, Arifin, dan Surya untuk menandatangani kontrak sewa Satelit Floater, yakni Satelit Artemis. Kontrak sewa itu antara Kementerian Pertahanan dan Avanti Communication Limited. Padahal, penyewaan satelit itu tidak diperlukan.
Apalagi, lanjut jaksa, Agus tidak memiliki kewenangan menandatangani kontrak karena bukan selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam proyek pengadaan satelit tersebut.
Baca juga: Kejagung Usut Dugaan Korupsi Pengelolaan Satelit Orbit 123
Selain itu, ditemukan pula ada beberapa unsur yang tidak terpenuhi dalam kontrak tersebut. Hal itu di antaranya, belum tersedia anggaran dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kemenhan, tidak ada rencana umum pengadaan barang/jasa, dan tanpa kerangka acuan kerja (KAK) atau term of reference (TOR).
Ditemukan pula belum ada harga perkiraan sendiri (HPS), tidak ada proses pemilihan penyedia barang atau jasa, dan wilayah cakupan layanan Satelit Artemis tidak sesuai dengan filing satelit di Slot Orbit 123 Derajat Bujur Timur.
Sebagaimana fakta hukum yang terungkap di persidangan tersebut, perbuatan keempat terdakwa, menurut jaksa koneksitas, telah merugikan negara dalam jumlah yang sama. Kerugian negara itu tertuang dalam laporan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tentang penghitungan keuangan negara atas perkara dugaan korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat di Kementerian Pertahanan tahun 2012-2021.
Laporan itu bernomor PE.03.03/SR-607/D5/02/2022 pada tanggal 12 Agustus 2022.
Suasana seusai sidang tuntutan kasus dugaan korupsi pengadaan satelit slot orbit 123 Bujur Timur di Kementerian Pertahanan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (7/7/2023). Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri memberikan kesempatan kepada keempat terdakwa untuk mengajukan pembelaan pada sidang lanjutan yang akan dilaksanakan Rabu, (12/7/2023).
Jaksa menyatakan para terdakwa telah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001.
Seusai mendengarkan tuntutan jaksa koneksitas, Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri memberikan kesempatan kepada keempat terdakwa untuk mengajukan pembelaan. Pera terdakwa bersama penasihat hukumnya akan mengajukan nota pembelaan pada sidang lanjutan yang akan dilaksanakan pada Rabu, (12/7/2023) depan.
Oleh : Muhammad Naufal Darmadi dan Fanny Patricia GultomStaf Bidang Jurnalistik LK2 FHUI
Korupsi telah menjadi penyakit kronis yang mengakar di berbagai sektor, tak terkecuali di sektor pertambangan. Manipulasi dalam proses perizinan, timbulnya praktik suap-menyuap, hingga penggelapan pajak yang merajalela di sektor ini mampu menghancurkan hidup banyak orang hanya untuk mendapatkan kenikmatan duniawi dari segelintir orang tanpa hati nurani. Baru-baru ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap dugaan kasus megakorupsi dalam tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk yang terjadi di Bangka Belitung pada rentang tahun 2015-2022. Kasus ini menjerat 16 tersangka, termasuk sederet tokoh ternama, seperti eks dirut PT Timah Tbk., Mochtar Riza Pahlevi, wanita yang dikenal sebagai crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK), Helena Lim, dan suami aktris tanah air Sandra Dewi, yaitu Harvey Moeis.
Awal Terungkapnya Praktik Korupsi Pengelolaan Tambang Timah
Terungkapnya kasus ini bermula ketika Kejagung mengusutnya melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus). Dalam prosesnya, Jampidsus tidak menerapkan operasi tangkap tangan (OTT) yang biasa digunakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi menggunakan metode case building atau pengembangan kasus. OTT merupakan strategi yang dirancang untuk menangkap basah pelaku kejahatan saat melakukan perbuatannya dan biasa diawali dengan penyadapan. Sedangkan, case building dapat dipahami sebagai pengembangan konstruksi perkara berdasarkan alat bukti guna mengoptimalisasi penyelesaian kasus. Melalui metode ini, perkara yang diusut dapat dikenakan ancaman hukuman yang lebih berat dan berlapis dibandingkan dengan perkara lainnya yang bersifat suap-menyuap.
Kejagung melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum), Ketut Sumedana, mulai membicarakan kasus ini sejak Oktober 2023 lalu. Saat itu, dirinya mengatakan bahwa penyidik dari pihaknya telah melakukan penggeledahan hingga penyitaan di beberapa lokasi yang berada di Bangka Belitung. Ketut menjelaskan bahwa dalam praktik korupsi ini, terdapat kerja sama pengelolaan lahan ilegal yang dilakukan oleh PT Timah Tbk dengan pihak swasta. Hasil pengelolaan ilegal tersebut dijual kembali ke PT Timah Tbk sehingga berpotensi menyebabkan kerugian negara berupa kerugian lingkungan yang disebabkan oleh praktik tambang ilegal.
Tambang Timah Ilegal Sebabkan Kerugian Lingkungan
Ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo, Kejagung menyampaikan kerugian negara akibat kasus penambangan timah ilegal ini mencapai Rp271,069 triliun. Angka kerugian tersebut bukanlah total uang yang dikorupsikan, melainkan estimasi kerugian lingkungan berupa kerusakan kawasan hutan dan kawasan nonhutan. Kawasan hutan mengalami kerugian ekologis mencapai Rp157,83 triliun, ekonomi lingkungannya Rp60,276 triliun, dan pemulihannya itu Rp 5,257 triliun. Selanjutnya, terkait kawasan nonhutan, kerugian ekologisnya mencapai Rp25,87 triliun. Selain itu, kerugian ekonomi lingkungannya diketahui sampai Rp15,2 triliun. Terakhir, biaya pemulihan lingkungannya sebesar Rp6,629 triliun.
Perhitungan tersebut dilaksanakan sesuai ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup (Permen LH 7/2014). Permen LH 7/2014 mengatur bahwa perhitungan kerugian lingkungan hidup dilaksanakan oleh ahli di bidang pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan/atau; valuasi ekonomi lingkungan hidup. Kemudian, hasil dari analisis yang dilakukan oleh ahli ini digunakan sebagai evaluasi awal dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di luar pengadilan atau melalui pengadilan. Namun, sayangnya penggunaan perhitungan kerugian negara berdasarkan kerusakan lingkungan masih dipertanyakan.
Permen LH No 7/2014 Bukanlah Jawaban
Apabila kita melihat bagian menimbang dari Permen LH No 7/2014, peraturan tersebut merupakan pelaksanaan dari Pasal 90 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang mana mengandung hak gugat pemerintah dalam kasus yang menimbulkan kerugian lingkungan. Karena alasan ini, penggunaan Permen LH 7/2014 di luar hak gugat pemerintah patutlah dipertanyakan. Hal ini karena hak gugat selalu berkaitan dengan sengketa keperdataan sehingga penggunaannya dalam kasus tindak pidana korupsi tidaklah tepat.
Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Prof. Andri Gunawan Wibisana dalam publikasi tulisannya yang berjudul “Kerugian Lingkungan, Kerugian Perekonomian negara?”, menyampaikan bahwa kerugian lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas tambang timah ilegal memang dapat dihitung maupun dibuktikan secara keilmuan dan hukum. Dalam menghitung kerugian lingkungan yang ada tidak selamanya berpacu pada Permen LH No 7/2014, tetapi dapat menggunakan prosedur sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang – Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Sesuai dengan ketentuan tersebut, negara bertanggung jawab untuk memastikan terjadinya pemulihan lingkungan. Kewenangan negara tak hanya mengatur, mengurus, membuat kebijakan, atau melakukan pengawasan, tetapi juga bertanggung jawab untuk melakukan pencegahan atas terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Konsep negara bertanggung jawab atas pemulihan alam dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 condong memiliki kesamaan yang dikenal sebagai doktrin public trust (amanah publik). Melalui konsep ini, tanggung jawab negara timbul sebagai pemegang kepercayaan publik untuk memastikan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sesuai Pasal 33 Ayat (3) UUD 194, negara atau pemerintah bukanlah pemilik Sumber Daya Alam (SDA). Oleh karena itu, rencana pemulihan yang disusun dalam kasus kerugian lingkungan menegaskan kepentingan bahwa negara sebagai wali alam, bukan pemilik SDA sesuai amanat konstitusi. Dengan asas tanggung jawab negara, hak menguasai negara diartikan sebagai amanah publik yang diemban negara sebagai penjaga dan pelaksana disertai tanggung jawab untuk menjaga kelestarian dan keberlangsungan hak tersebut.
Tanggung Jawab Hukum dalam Menegakkan Keadilan Lingkungan
Sejatinya, korupsi tambang timah tidak menimbulkan kerugian negara, tetapi kerugian lingkungan akibat aktivitas tambang timah yang perlu ditangani secara cepat dan tepat. Implikasi dari kerugian lingkungan ini tidak dapat dianggap sebagai kompensasi untuk penghasilan yang hilang atau penurunan nilai “properti” yang dibayarkan ke negara, tetapi sebagai biaya yang diperlukan untuk memulihkan pencemaran ataupun kerusakan lingkungan.
Pemerintah sebagai penanggung jawab dalam mengatur kelestarian lingkungan memiliki tugas yang harus dipikul guna menanggulangi kerugian ini. Aparat penegak hukum diharapkan untuk selalu memperhatikan prinsip-prinsip lingkungan agar nantinya kasus ini dapat diputus dengan memperhatikan nilai-nilai keadilan. Selain itu, diperlukan kebijaksanaan dari hakim dalam membuat pertimbangan untuk memutus langkah hukum yang tepat. Dengan begitu, putusan mampu mengakomodasi perhitungan kerugian negara sesuai dengan prosedur yang berlaku serta memberikan dasar yang kuat dalam upaya pemulihan dan pencegahan kerusakan lebih lanjut di masa depan.
Lagi-lagi jajaran kejaksaan mencuri perhatian dengan pengusutan perkara korupsi. Masih hangat dalam ingatan soal Jiwasraya dan ASABRI, kini perkara pertambangan menjadi sorotan.
Kasusnya sendiri bertajuk dugaan korupsi dalam tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 atau bolehlah disingkat kasus korupsi timah. Sampai detik ini sudah ada 16 orang tersangka yang dijerat kejaksaan yang mana nama tersangka terakhir menjadi buah bibir yaitu Harvey Moeis yang merupakan suami dari aktris Sandra Dewi.
Kasus ini tidak serta merta muncul. Beda dari kasus-kasus yang biasa diusut KPK melalui operasi tangkap tangan atau OTT, perkara yang diusut Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) ini biasa disebut menggunakan metode case building atau mengembangkan kasus. Biasanya dalam perkara yang diusut melalui case building, pasal yang dikenakan memiliki ancaman hukuman yang lebih ngeri dibanding perkara-perkara yang sifatnya suap-menyuap. Ancaman hukumannya seumur hidup penjara atau bahkan mati dengan syarat kondisi tertentu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kejagung melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) atau bisa disebut juru bicara dari Kejagung yaitu Ketut Sumedana pertama kali bicara mengenai kasus ini pada Selasa, 17 Oktober 2023. Saat itu Ketut mengatakan penyidik Jampidsus sudah melakukan penggeledahan dan penyitaan di 3 lokasi yang berada di Bangka.
"Tindakan penyitaan dan penggeledahan tersebut terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015 s/d tahun 2022," ujar Ketut kala itu.
Secara sederhana Ketut mengatakan kasus ini mengenai kerja sama pengelolaan lahan PT Timah Tbk dengan pihak swasta secara ilegal. Hasil pengelolaan itu dijual kembali kepada PT Timah Tbk sehingga berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Siapa Saja Tersangka?
Dalam perkara ini Kejagung sudah menetapkan 16 orang tersangka di mana seorang di antaranya dijerat terkait perintangan penyidikan. Sedangkan 15 orang tersangka lainnya dalam pokok perkara. Berikut rinciannya:
Tersangka Perintangan Penyidikan1. Toni Tamsil alias Akhi (TT)
Tersangka Pokok Perkara2. Suwito Gunawan (SG) selaku Komisaris PT SIP atau perusahaan tambang di Pangkalpinang, Bangka Belitung3. MB Gunawan (MBG) selaku Direktur PT SIP4. Tamron alias Aon (TN) selaku beneficial owner atau pemilik keuntungan dari CV VIP5. Hasan Tjhie (HT) selaku Direktur Utama CV VIP6. Kwang Yung alias Buyung (BY) selaku mantan Komisaris CV VIP7. Achmad Albani (AA) selaku Manajer Operasional Tambang CV VIP8. Robert Indarto (RI) selaku Direktur Utama PT SBS9. Rosalina (RL) selaku General Manager PT TIN10. Suparta (SP) selaku Direktur Utama PT RBT11. Reza Andriansyah (RA) selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT12. Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) selaku Direktur Utama PT Timah 2016-201113. Emil Ermindra (EE) selaku Direktur Keuangan PT Timah 2017-201814. Alwin Akbar (ALW) selaku mantan Direktur Operasional dan mantan Direktur Pengembangan Usaha PT Timah15. Helena Lim (HLN) selaku manager PT QSE16. Harvey Moeis (HM) selaku perpanjangan tangan dari PT RBT
Provinsi Bangka Belitung sendiri dikenal sebagai penghasil timah. Dalam praktiknya penambangan timah ilegal di wilayah itu marak. Menurut Kuntadi selaku Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung, Harvey mewakili PT RBT menghubungi sejumlah smelter atau bisnis-bisnis peleburan timah yang terlibat dalam kasus ini.
Harvey juga pernah menghubungi Mochtar Riza Pahlevi Tabrani ketika aktif sebagai Direktur Utama PT Timah. Maksud Harvey berkomunikasi dengan Mochtar adalah untuk mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah itu yaitu dengan modus sewa-menyewa alat peleburan timah.
"Yang selanjutnya tersangka HM ini menghubungi beberapa smelter, yaitu PT SIP, CV VIP, PT SPS, dan PT TIN, untuk ikut serta dalam kegiatan dimaksud," kata Kuntadi.
Lalu apa kaitan dengan Helena Lim?
Sebelum menjerat Harvey, kejaksaan sudah lebih dulu menetapkan Helena Lim sebagai tersangka. Dari rumahnya disita duit miliaran jumlahnya serta brankas berisi perhiasan. Rupanya antara Harvey dan Helena ini terdapat benang merah. Kejagung menduga Harvey meminta pihak smelter menyisihkan keuntungan yang dihasilkan dari praktik terselubung itu di mana kemudian dikelola seolah-olah menjadi dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi Helena.
"(Keuntungan yang disisihkan) diserahkan kepada yang bersangkutan dengan cover pembayaran dana CSR yang dikirim para pengusaha smelter ini kepada HM melalui QSE yang difasilitasi oleh tersangka HLN," ujar Kuntadi.
Kasus ini masih berproses tetapi Kejagung sempat memunculkan dugaan kerugian lingkungan yang timbul. Angkanya fantastis: Rp 271 triliun. Dari mana hitungannya?
Kejagung pada 19 Februari 2024 menghadirkan ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo. Dia melakukan penghitungan kerugian yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di Babel imbas dari dugaan korupsi yang merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014 itu berisi tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
Berikut bunyi pasal yang mengatur mengenai penghitungan kerugian lingkungan sebagaimana dilihat detikcom:
(1) Penghitungan kerugian lingkungan hidup dilakukan oleh ahli di bidang:a. pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup; dan/atau;b. valuasi ekonomi lingkungan hidup.
(2) Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk oleh:a. pejabat eselon I yang tugas dan fungsinya bertanggung jawab di bidang penaatan hukum lingkungan Instansi Lingkungan Hidup Pusat; ataub. pejabat eselon II Instansi Lingkungan Hidup Daerah.
(3) Penunjukan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan atas:a. bukti telah melakukan penelitian; dan/ataub. bukti telah berpengalaman, di bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Penunjukan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun sesuai dengan Format Penunjukan Ahli sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(1) Penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup yang dilakukan oleh ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sesuai dengan Pedoman Penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup yang tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Pedoman Penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, dan/atau masyarakat.
(1) Hasil penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup oleh ahli dipergunakan sebagai penilaian awal dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di luar pengadilan atau melalui pengadilan.
(2) Hasil penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup yang dihitung oleh ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengalami perubahan dalam proses Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di luar pengadilan atau melalui pengadilan.
(3) Perubahan besarnya Kerugian Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipengaruhi oleh faktor teknis dan nonteknis.
(4) Faktor teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain :
a. durasi waktu atau lama terjadinya Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup;b. volume polutan yang melebihi Baku Mutu Lingkungan Hidup;c. parameter polutan yang melebihi Baku Mutu Lingkungan Hidup;d. luasan lahan dan sebaran Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup; dan/ataue. status lahan yang rusak.
(5) Faktor nonteknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain:a. inflasi; dan/ataub. kebijakan pemerintah.
Menimbang hal-hal di atas, menurut Bambang, angka kerugian lingkungan dalam kasus itu mencapai Rp 271.069.688.018.700 atau Rp 271 triliun. Bambang menjelaskan angka Rp 271 triliun adalah perhitungan kerugian kerusakan lingkungan dalam kawasan hutan dan nonkawasan hutan. Dia merinci perhitungan kerugian dalam kawasan hutan dan non kawasan hutan. Rinciannya sebagai berikut:
Kerugian Kawasan Hutan:- Kerugian lingkungan ekologisnya Rp 157,83 Triliun- Ekonomi lingkungannya Rp 60,276 Triliun- Pemulihannya itu Rp 5,257 TriliunTotal untuk yang di kawasan hutan adalah Rp 223 Triliun atau lengkapnya Rp 223.366.246.027.050.
Kerugian Non Kawasan Hutan:- Biaya kerugian ekologisnya Rp 25,87 Triliun- Kerugian ekonomi lingkungannya Rp 15,2 Triliun- Biaya pemulihan lingkungan Rp 6,629 TriliunTotal untuk untuk nonkawasan hutan APL adalah Rp 47,703 Triliun
"Totalnya kerugian itu yang harus juga ditanggung negara adalah 271.069.687.018.700," kata Bambang dalam jumpa pers bersama Kejagung saat itu.
Bambang mendata total luas galian terkait kasus PT Timah Tbk di Bangka Belitung sekitar 170.363.064 hektar. Namun, luas galian yang memiliki izin usaha tambang atau IUP hanya 88.900,462 hektare.
"Dan dari luasan yang 170 ribu (hektare) ini ternyata yang memiliki IUP itu hanya 88.900,661 hektare, dan yang non-IUP itu 81.462,602 hektare," ujar dia.
Angka ini bukanlah angka kerugian negara yang timbul dalam kasus ini, melainkan angka awal sebagaimana tertuang dalam pasal 6 ayat 1 di Permen LH 7/2014. Terkait penghitungan kerugian negara yang masih dihitung itu sebelumnya juga sudah disampaikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejagung Kuntadi.
"Kerugian ini masih akan kita tambah dengan kerugian keuangan negara yang sampai saat ini masih berproses. Berapa hasilnya masih kita tunggu," kata Kuntadi.
"Hasilnya seperti apa, yang jelas kalau dari sisi pendekatan ahli lingkungan beberapa saat yang lalu sudah kami sampaikan. Selebihnya masih dalam proses untuk perumusan formulasi penghitungannya," imbuhnya.
Simak juga 'Ini Peran Suami Sandra Dewi dalam Kasus Korupsi Komoditas Timah':
[Gambas:Video 20detik]